Eks Kakanwil BPN Riau Jadi Tersangka Kasus TPPU:  Diduga  Terima Suap SGD 120 Ribu Katanya Sebagian Via Rekening Pegawai

(Foto: detikcom)

JAKARTA (Surya24.com)- KPK menetapkan mantan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (Kanwil BPN) Riau M Syahrir (MS) sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang (TPPU). Penetapan ini berdasarkan hasil pengembangan dari perkara gratifikasi Rp 1,2 miliar yang sebelumnya telah menjerat Syahrir.

      "Saat proses penyidikan perkara awal untuk tersangka MS berjalan, tim penyidik kembali menemukan adanya dugaan perbuatan pidana lain yang dilakukan oleh tersangka dimaksud yaitu pencucian uang," kata Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri di gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, sebagaimana dilansir detik.com, Selasa (21/2/2023).

    Ali mengatakan dari hasil penyidikan didapat adanya dugaan pengalihan hingga penyamaran aset yang dilakukan Syahrir. Aset-aset itu diduga merupakan hasil tindak pidana korupsi.

    Tim penyidik KPK saat ini pun telah melakukan pelacakan kepada aset milik Syahrir yang diduga berasal dari tindak pidana pencucian uang. Aset itu mulai dari tanah hingga uang dengan nominal miliaran rupiah.

    "Tim penyidik saat ini telah menyita berbagai aset yang memiliki nilai ekonomis tinggi, antara lain berupa tanah dan bangunan serta uang tunai sekitar Rp 1 miliar pecahan mata uang rupiah," jelas Ali.

     Pasal tindak pidana pencucian uang kini telah diterapkan dalam kasus korupsi yang dilakukan Syahrir. Jeratan pasal itu sebagai upaya KPK dalam melakukan pemulihan aset negara.

 

  "Penerapan pasal dugaan TPPU dalam rangka untuk dilakukannya aset recovery," ujar Ali.

Kasus Gratifikasi

     KPK menetapkan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (Kanwil BPN) Riau M Syahrir (MS) menjadi tersangka korupsi pengurusan dan perpanjangan hak guna usaha (HGU) 3.300 hektare di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing). KPK turut menetapkan dua pihak swasta jadi tersangka di perkara ini.

    Ketua KPK Firli Bahuri menyebut perkara ini bermula saat tersangka Frank Wijaya (FW) selaku pemegang saham PT Adimulia Agrolestari (AA) menugasi Sudarso (SDR) selaku General Manager PT AA untuk mengurus perpanjangan HGU PT AA yang segera berakhir pada 2024. Sedari awal, Sudarso diminta aktif untuk menyampaikan perkembangannya kepada Frank Wijaya.

  "Selanjutnya SDR menghubungi dan melakukan beberapa pertemuan dengan MS yang menjabat selaku Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Riau yang membahas antara lain terkait perpanjangan HGU PT AA," kata Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers di gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (27/10/2022).

Via Rekening Pegawai

     KPK menahan Kepala Kanwil Badan Pertanahan Nasional (Kakanwil BPN) Provinsi Riau, M Syahrir, di kasus pengurusan dan perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU). KPK mengungkap modus M Syahrir menerima suap senilai SGD (dolar Singapura) 120 ribu, salah satunya lewat rekening bank milik pegawainya.

       "Ada yang langsung, ada juga yang menggunakan rekening-rekening atas nama pegawainya," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron kepada wartawan, seperti dilansir detik.com, Kamis (1/12/2022).

    Ghufron menyebut suap itu bermula saat Frank Wijaya selaku pemegang saham PT Adimulia Agrolestari (PT AA) hendak mengurus dan memperpanjang sertifikat    HGU perusahaannya yang segera berakhir pada 2024. Dia menunjuk Sudarso selaku General Manager PT AA untuk mengurusnya.

     Kemudian, Sudarso (SDR) melakukan pertemuan dengan M Syahrir yang saat itu menjabat Kakanwail BPN Riau guna membahas perpanjangan HGU PT AA. Pada Agustus 2021, Sudarso menyiapkan dokumen administrasi pengurusan HGU PT AA seluas 300 hektare di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing).

    "Sekitar Agustus 2021, SDR menyiapkan seluruh dokumen administrasi untuk pengurusan HGU PT AA seluas 3.300 hektare di Kabupaten Kuantan Singingi yang salah satunya ditujukan juga ke Kanwil BPN Provinsi Riau," ucap Ghufron.

    Setelahnya, Ghufron menyebut Sudarso menemui Syahrir di rumahnya. Dalam pertemuan itu, Syahrir meminta uang kepada Sudarso dalam bentuk dolar Singapura senilai Rp 3,5 miliar dengan pembagian 40-60% sebagai uang muka mempercepat proses pengurusan HGU.

    "SDR lalu melaporkan permintaan MS kepada FW dan SDR kemudian mengajukan permintaan uang SGD 120 ribu ke kas PT AA dan disetujui oleh FW," sebut dia.

     Lalu, pada September 2021, M Syahrir meminta penyerahan uang SGD 120 ribu itu di kediamannya, serta berpesan agar Sudarso tidak membawa alat komunikasi. Usai menerima uang tersebut, Syahrir memimpin ekspose permohonan usulan perpanjangan HGU dan merekomendasikan usulan bisa ditindaklanjuti lewat rekomendasi Andi Putra selaku eks Bupati Kuansing.

    "Usulan perpanjangan dimaksud bisa ditindaklanjuti dengan adanya surat rekomendasi dari Andi Putra selaku Bupati Kuantan Singingi yang menyatakan tidak keberatan adanya kebun masyarakat dibangun di Kabupaten Kampar dan rekomendasi ini dapat dipenuhi FW," jelas Ghufron.

     Selain menerima uang lewat rekening pegawainya, M Syahrir turut menerima suap lewat rekening pribadinya. Hal itu berlaku dalam kurun September 2021 hingga Oktober 2021.

     "Di kurun waktu September 2021 sampai dengan 27 Oktober 2021, MS menerima aliran sejumlah uang baik melalui rekening bank atas nama pribadi MS maupun atas nama dari beberapa pegawai BPN tersebut sejumlah sekitar Rp 791 juta yang berasal dari FW," papar Ghufron.

  Tak berhenti di sana, Ghufron menyebut M Syahrir diduga menerima gratifikasi senilai Rp 9 miliar saat menjabat Kakanwil BPN di sejumlah provinsi. Ghufron menyebut penyidik bakal terus mendalami hal ini.

    "Selain itu pada kurun waktu tahun 2017 sampai dengan tahun 2021, MS juga diduga menerima gratifikasi sejumlah sekitar Rp 9 Miliar dalam jabatannya selaku Kepala Kanwil BPN di beberapa provinsi dan hal ini akan terus didalami dan dikembangkan Tim Penyidik," tutup dia.

     Atas perbuatannya, M Syahrir sebagai Penerima melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

    Adapun dalam perkara ini, sebelumnya KPK telah mengumumkan sejumlah tersangka. Mereka adalah Frank Wijaya dan Sudarso.

    Adapun Sudarso sendiri lebih dulu divonis pidana penjara selama 2 tahun dan denda Rp 200 juta subsider 4 bulan di kasus yang menjerat eks Bupati Kuansing Andi Putra. Saat ini dia mendekam di Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.***